Friday, December 5, 2014

de speak: Di Mana atau Dimana?

Tergelitik dari pengalaman pribadi penulis: ada rekan kerja yang membuat Meeting Plan Summary (MPS) untuk perjalanan dinas menteri. Dia menuliskan kata "Dimana..." sebagai sebuah judul sub-konten dari MPS tersebut. Seketika saya memberikan komentar mengenai hal tersebut yang berujung perdebatan.

Jujur, sekarang saya lebih malas berdebat dibandingkan dengan saya dulu. Kalo dulu, ada yang ngajak debat dan saya merasa benar, saya pasti akan meladeni sampai tuntas. Tapi sekarang masih mikir-mikir, apakah hasil dari perdebatan itu sepadan dengan energi yang dikeluarkan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, akan saya uraikan penjelasan saya:

"Di" mempunyai dua fungsi, yang sering menyebabkan salah kaprah dalam penulisannya, yaitu:
1. "Di" sebagai awalan, imbuhan yang diletakkan di awal kata. "Di" di sini menunjukkan kata pasif, contohnya: dipuji, dihormati, diwawancarai, dilakukan, dipenjara, dan lain-lain.
2. "Di" sebagai preposisi atau kata depan. Kata "di" di sini menunjukkan tempat, contohnya: di Bogor, di rumah, di kantor, di penjara, dan lain-lain.

Ada cara yang mudah untuk membedakan keduanya. Seperti keterangan di atas, "di" sebagai awalan merupakan kata pasif. Jadi untuk membedakannya cukup ganti awalan "di" dengan "me". Apabila kata tersebut mempunyai arti, maka "di" dalam kalimat itu adalah awalan. Jika tidak, maka "di" dalam kalimat tersebut adalah preposisi. Simpel, kan?

Nah, sekarang kembali ke persoalan, apakah kata "dimana" dapat diubah menjadi aktif dengan mengganti "di" dengan "me"?

Catatan:
Ada yang sadar nggak kalo di contoh tadi ada yang hampir mirip? Yap, kata "di penjara" dan "dipenjara". Keduanya benar dan dapat dituliskan di dalam kalimat, tergantung kalimat dan maksud kata dalam kalimat tersebut. Apakah kata "penjara" sebagai penunjuk tempat atau kata kerja?

Thursday, December 4, 2014

de speak: Berbahasa Benar


 Izinkan saya memulai dengan gambar di atas.
Ini adalah lanjutan dari seri berbahasa yang direncanakan sejak lama hadir di blog ini. Seperti di laman blog saya yang sebelumnya tentang bahasa, di sini, semua orang berbahasa bermula dari kesalahan. Agar tidak melulu salah, saya berinisiatif untuk membuat tulisan ini.

Seperti gambar di atas: Do not correct a fool, or he will hate you; correct a wise man, and he will appreciate you. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengoreksi orang yang berbesar hati memperbaiki kesalahan sendiri sambil nantinya dapat mengoreksi orang lain.



Ada yang sudah bisa menebak apa kesalahannya?
Ini kesalahan yang umum terjadi, apalagi di Indonesia.
1. Penggunaan to be yang salah, sehingga mengubah makna. Kalo diartikan, tulisan "We were offers some serious satisfaction to you" berarti "dulu kami menawarkan kepuasan" sekarang udah nggak :D. Seharusnya "We are offering..."
2.  Ini kesalahan minor sih, tapi sering.. "Discover our five selection of steak". Kalo jamak (plural) kan harusnya "Discover our five selections of steak.

Demikian sedikit koreksi untuk teman-teman di hotel *******, semoga ikut baca, hehe..
Salah itu manusiawi, tapi salah berulang itu keledaiwi *maksa.


Semangat berbahasa benar!

Friday, November 28, 2014

Basah.


hujan
satu kata banyak rintikan
kumpulan tetes air
jatuh dari rombongan awan

wanginya meninggalkan kenangan
campuran bau air dan tanah
bagaimana bisa lupa

Lihat anak kecil
berlarian di tengah hujan
kita kapan

tanpa harus tanggalkan pakaian
tanpa harus tutup kepala
biarkan

banyak yang benci hujan
sebabkan banjir katanya
saatnya bertanya
itu salah siapa

marilah berdua
berlarian di tengah hujan
kapan-kapan

tanpa harus tanggalkan pakaian
tanpa harus tutup kepala
biarkan.

Kurniawan Wahyu
03/05/2014

Wednesday, October 22, 2014

de speak: Smartphones. Dumb Users.




Hello World!

Menulis postingan kali ini hampir seperti masa mengandung dan melahirkan bayi manusia. Tepat 8 bulan sejak postingan terakhir di blog ini.

Postingan kali ini membahas sesuatu yang seharusnya semua yang melek Internet tahu, Media Sosial atau di bahasa aslinya Social Media.

Sebelum menuju topik utama, ada setidaknya dua hal menarik yang terjadi ketika penulisan postingan ini:
1. Sebelum masuk ke halaman editor blog ini, terlihat postingan bertema serupa dari AngsaJenius di kolom reading list berjudul SOCMED, KEPLESET PAMER.
2. Lalu melihat daftar postingan sendiri, ternyata ada draft postingan yang belum diterbitkan, tertanggal 26 Februari 2014 yang isinya sebagai berikut:

Ternyata keinginan untuk menulis mengenai media sosial ini sudah lama ada di kepala! Kemudian DHUARR! Seakan seluruh alam semesta ini ikut mendukung.

Nah, lanjut dari draft yang terlupa, nih. Siapa sih yang sekarang tidak punya akun Facebook atau Twitter? Kemunculan internet di Indonesia pada awal 90-an hingga berjamurnya penggunaan media sosial pada dekade ini ternyata punya banyak efek. Menurut opini saya (saya bilang opini karena belum didukung riset yang mendalam, hanya dapat dirasakan secara kasat mata), beberapa efek positifnya:

  1. Ekonomi bertumbuh lebih cepat.
  2. Adanya kemudahan menerima informasi bahkan dari tempat yang sangat jauh berbeda.
  3. Sesuatu SANGAT MUDAH dicari di internet: dari penjelasan mengenai Teori Relativitas milik Albert Einstein hingga cara membuat sayur lodeh bisa didapat di internet.

Nah, Internet ini sangat berkembang didukung juga dengan perkembangan teknologi Smartphone (ponsel pintar) dengan berbagai merek dan berbagai sistem operasi yang digunakan. Orang dengan sangat mudah mencapai internet di mana saja, kapan saja. Sayangnya hal ini menjadikan beberapa hal berkembang ke arah negatif. Beberapa yang bisa saya tangkap sebagai berikut:


1. Budaya pamer
Budaya pamer ini sih sebenernya bisa saja diarahkan menjadi positif, tapi sepertinya memang banyak negatifnya, IMHO. Hashtag twitter dan instagram yang berisi #OOTD atau Outfit of The Day termasuk salah satu contoh yang bisa saja "Kepleset pamer", kalau mengambil istilah AngsaJenius. Lebih banyak dibahas di link postingan dari AngsaJenius di atas.

2. Budaya serba-instan
Dari efek positif di atas, sesuatu sangat mudah dicari di internet. Tetapi, hal ini membuat banyak dari kita menginginkan sesuatu dengan instan, segera, secepatnya, tanpa mau tahu dengan prosesnya. Kalau bisa, segala sesuatunya asal bisa dibayar, kelar!

3. Budaya mencela
Dalam hidup, tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kadang-kadang, kita menggunakan media sosial untuk curhat, bahkan cenderung mencela. Kasus Florence Sihombing menjadi salah satu contohnya. Tidak puas dengan pelayanan publik, dengan enteng menghina banyak pihak, meskipun kemudian meminta maaf. 

4. Budaya cyber-bullying
Nah, ini sebenarnya hampir sama dengan budaya mencela, tapi dengan spesifik ke akun/orang tertentu dan cenderung dilakukan secara berjamaah. Dalam kasus Florence Sihombing di atas, publik di dunia maya dengan enteng pula mencela, mengedit foto, menjelek-jelekkan Flo, yang notabene juga manusia biasa. Just imagine if you're standing on her shoes.

5. Budaya tanpa tabayyun
Pesan berantai di BBM mungkin saja salah satu fitur yang berguna ketika mengundang banyak orang menghadiri acara yang kita adakan. Mengunggah status mengenai keadaan seseorang (entah melahirkan atau meninggal) bisa saja sangat berguna untuk orang yang peduli. Tetapi nyatanya, banyak pesan berantai yang langsung disebar ulang tanpa tabayyun, tanpa konfirmasi, tanpa klarifikasi. Hal ini sangat merugikan, apalagi jika berita yang disebar ternyata adalah hoax (berita palsu).

6. Opini mengalahkan fakta

Efek ini sangat bahaya! Sekarang, sebuah isu yang menjadi trending topic di Twitter kemudian menjadi sebuah kebenaran. Banyak dibicarakan menjadi banyak dipercaya.
Padahal, media sosial bisa jadi merupakan sebuah hasil rekayasa.

Buat yang mau tahu tentang hal-hal bodoh yang kemudian kita lakukan sejak adanya smartphone bisa cek link ini.


*kretek-kretek* *ngulet 'dikit*

Cukup lelah membuat postingan ini ternyata, setelah sekian lama tidak menulis.
Hehehe.

Buat pembaca, terima kasih sudah membaca opini yang melip ini. 

Friday, February 21, 2014

de speak: the way to say.



Postingan kali ini bahas cara berbahasa. Tidak hanya berbahasa asing, tetapi juga berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah. Terinspirasi dari tweet saya sendiri beberapa hari yang lalu yang muncul dari kegelisahan diri melihat beberapa cara berbahasa yang keliru, khususnya Bahasa Inggris, dalam postingan teman-teman di media sosial. Berikut tweet lengkapnya:


You may call me Grammar Nazi, I don't care. 
Semua belajar berbahasa dari kekeliruan. Semua belajar dari ketidaktahuan. Tetapi mencukupkan diri itu bentuk kemalasan. 

Happy learning, Guys.

Sehubungan dengan postingan ini, di postingan selanjutnya akan muncul koreksi berbahasa dari yang ditemui di sosial media. Akan muncul seri berbahasa di blog ini. I'm excited! 


Thursday, February 20, 2014

de crap: the blogger, the new beginning

The End is always the new Beginning.

2014 merupakan tahun kuda katanya. But the beginning of this year is not a good start. Kemungkinan memang seperti Kuda, tapi yang mesin diesel, jadi panas di akhir. :D

Eh, by the way, ini postingan pertama setelah sekian tahun, yap SEKIAN TAHUN, tidak posting di blog ini maupun di blog yang lain.

Ide menulis lagi muncul dari beberapa inspirasi, dari mulai membaca buku mengenai Timnas U-19 yang lagi hot-hotnya, sampai yang terakhir adalah baca blog si AngsaJenius dan dilanjutkan dengan obrolan melalui layanan pesan di sebuah socmed ke sang blogger. Obrolan tersebut menghasilkan aura yang sangat positif, semangat menulis lagi, bahkan ide untuk bikin joint post.

Sehubungan dengan kalimat yang pertama di atas itu, hehehe, yes, it has ended. Another reason to move up and move on.



p.s.: postingan ini disertai keinginan si blogger buat konsisten menulis paling tidak dua kali seminggu.